Selasa, 12 Oktober 2010

2. Marketing Produk Baru Tanpa Budget Promosi (1)

Salah satu teman di milis MC-ers bertanya mengenai bagaimana memasarkan produk baru, tanpa budget marketing dan menghadapai pemimpin pasar yang sudah melakukan penetrasi pasar sangat kuat.
Pertanyaan ini mengingatkan saya pada sepenggal kehidupan saya yang pernah merintis pemasaran produk baru beberapa tahun silam. Dua kali merintis pemasaran produk baru dan ternyata menuai sukses, mendorong saya untuk membagikan sedikit ilmu ini kepada rekan-rekan marketer.
Produk Pertama yang saya pasarkan adalah pasta gigi, sebut saja merek X. Pasta gigi ini belum ada dipasaran sama sekali saat itu, harganya 2 kali lebih mahal dari market leader, perusahaan juga tidak memiliki budget promosi yang cukup untuk memperkanalkan produk ini secara luas. Namun yang membuat saya optimis untuk memasarkan, produk ini memiliki kelebihan dibanding market leader dan produk lainya. Selain cepat bersih, produk ini juga tidak banyak menimbulkan busa dan mampu mengobati gusi berdarah dan sakit gigi.
Awalnya saya tidak begitu risau dengan kondisi ini, saya pikir sama saja dengan memasarkan produk lain yang pernah saya pasarkan sebelumnya. Apalagi saya sudah banyak kenal dengan pemilik toko di salah satu kota di Jawa Timur. Dengan gaya sales kanvas pada umumnya, saya memulai langkah untuk masuk ke toko-toko dan grosir. Toko demi toko dilalui, namun sampai sore hari ternyata tidak satupun produk saya terjual. Jangankan terjual, untuk sekedar titip saja mereka tidak mau, karena yakin produk itu tidak akan laku dipasaran.
Keesokan harinya, saya mencoba merubah target pasar, dari toko dan grosir ke warung-warung kecil dipinggiran kota, dengan harapan tidak mudah terbaca oleh pemasaran langsung sang market leader.
Namun lagi-lagi warung-warung kecil inipun menolak. Disini saya baru mulai sadar, bahwa saya menghadapi tantangan yang tidak ringan. Semalaman tidak bisa tidur, berpikir bagaimana cara agar produk ini bisa laku keras.
Ide-idepun datang silih berganti, dan akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa saya harus menemukan pengguna produk terlebih dahulu, baru membangun jalur distribusi.
Keesokan harinya, saya minta produk sampel dengan ukuran kecil dari kantor. Sekarang tidak ke warung-warung lagi, tapi ke rumah Pak RT, Ibu Ketua Arisan, Ketua PKK, Ketua Dharma Wanita, Ketua Pengajian dan orang-orang yang berpotensi memiliki komunitas. Disitu saya menanyakan kapan acara-acara mereka diadakan dan minta sedikit waktu untuk memperkenalkan produk saya.
Dalam waktu satu minggu, saya telah mengantongi puluhan jadwal arisan, pengajian, yasinan, selamatan dan acara lainya. Ketika waktunya telah tiba, sayapun datang dengan membawa produk sampel yang sudah disiapkan sebelumnya.
Di acara itulah, saya mulai memperkenalkan produk, menjelaskan manfaat dan kelebihan produk dibanding produk lain sejenis. Di akhir sesi, saya sempatkan membagi produk sampel ke peserta. Kata-kata terakhir saya berpesan bahwa nanti jika merasa cocok dengan produk saya, Bapak Ibu bisa membeli di warung Bu Darmi, warung terdekat yang telah saya survey sebelumnya.
Setelah itu tugas saya adalah mendatangi warung Bu Darmi dan memberitahukan bahwa saya telah merekomendasikan warga sekitar untuk membeli produk pada warung miliknya. Lalu saya titipkan produk saya sebanyak 3 pcs.
Dua hari berikutnya, saya kunjungi kembali warung Bu Darmi untuk melakukan pengecekan produk. Nah..ternyata pancingan saya mulai berhasil, produk saya laku 2 pcs, jadi tinggal 1 cs. Penempatan produk yang hanya 3 pcs ini memang sengaja. Agar meskipun terjual 1 atau 2 pcs, produk kita terlihat laku keras, karena warung tidak melihat berapa yang laku, tapi berapa yang tersisa.
Melihat produk saya yang “laku keras” ini, Bu Darmi bersedia membeli secara cash, bahka Ia minta 2 lusin sekaligus. Tapi saya tidak terpancing, saya hanya bersedia memberinya 6 pcs produk, sekali lagi ini adalah bagian dari strategi psikologis.
Ternyata hari-hari berikutnya jumlah warga sekitar Bu Darmi yang menggunakan produk saya mulai bertambah. Warung-warung yang menydiakan produk saya seperti Bu Darmi juga jumlahnya bertambah. Setelah jumlahnya semakin banyak, pembentukan jalur distribusi mulai dibutuhkan.
Langkah berikutnya adalah mendatangi toko dan grosir yang lebih besar dari warung Bu Darmi, toko dan grosir ini biasanya menjadi tempat berbelanja warung-warung kecil. Berbekal data penjualan dan data warung yang sudah menjual produk saya, akhirnya toko dan grosir itupun bersedia menyediakan produk saya.
Kemudian saya merekomendasikan toko dan grosir tersebut kepada warung-warung kecil penyedia produk saya yang biasa belanja kesitu. Distribusipun berjalan dan saya tidak lagi harus blusukan (masuk-masuk) ke acara warga atau mendatangi warung-warung kecil lagi di wilayah tersebut. Cukup mengirimkan produk ke toko dan grosir.
Tapi tidak berhenti disitu, perluasan wilayah dengan cara yang sama tetap dilakukan. Sampai teman-teman sales yang lain menjuluki saya sebagai spesialis warung pedesaan. Tapi gak apa-apa, buktinya produk tersebut mampu terserap dengan baik, sedangkan teman-teman lain yang hanya memaksakan masuk ke toko dan grosir, produknya hanya menumpuk di gudang toko dan grosir tersebut. Akibatnya tidak pernah ada repeat order.
Tugas berikutnya adalah memasukkan produk tersebut ke supermarket atau mall. Meyakinkan pihak supermarket bahwa produk ini akan laku memang tidak mudah. Tapi akhirnya dengan data penjualan, mereka menjadi percaya bahwa produk tersebut laku.
Dan ternyata produk ini memang laku di supermarket. Bagaimana tidak, jika konsumen sudah dibangun sedemikian rupa, sehingga bukan hanya sekedar kenal, tapi sudah menjadi pengguna potensial sebelumnya. Mungkin mereka adalah salah satu dari anggota arisan yang pernah saya kasih sampel produk dan telah berlangganan ditempat Bu Darmi.

http://marketingtulen.wordpress.com/2009/02/12/marketing-produk-baru-tanpa-budget-promosi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar